Dosa

Asal mula dosa
Peristiwa kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa saat berada di Taman Eden setelah dipengaruhi oleh ular, menyisakan satu pertanyaan yang menggelitik. Mengapa Allah Maha Kuasa, yang membenci dosa, mengijinkan dosa masuk ke dalam dunia? Pertanyaan itu telah menjadi bahan perdebatan selama berabad-abad dalam sejarah kehidupan di planet Bumi ini.
Jawaban untuk pertanyaan tersebut tidaklah sederhana. Akan tetapi, bukannya tidak bisa terjawab. Marilah meggunakan logika sederhana dengan menganalisa fakta-fakta yang terungkap dalam Alkitab. Kitab Kejadian mengajarkan bahwa Allah menciptakan makhluk yang bernama “manusia” (Kejadian 1:26-28). Manusia adalah ciptaan yang diciptakan “segambar” dengan Allah. Salah satu makna dari “segambar” dengan Allah adalah bahwa manusia itu diberikan “akal budi” – sesuatu yang membedakannya dari hewan, tumbuhan dsb-. Dengan akal budi itu, manusia mempunyai pikiran atau kehendak bebasnya.
Penggunaan “kehendak bebas” inilah yang terekam dalam kisah di Taman Eden. Allah memberikan firman agar Adam dan Hawa tidak memakan buah dari “Pohon Pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat”. Buah dari pohon-pohon lainnya boleh mereka makan. Hanya buah dari pohon itu saja yang tidak boleh dimakan, karena bisa mengakibatkan “kematian” (Kejadian 2:15-17). Tidak diceritakan berapa lama keduanya menghuni Taman Eden dan menikmati segala yang terindah. Sampai suatu hari, ular datang dan membujuk Hawa untuk memakan buah dari Pohon Pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat tersebut. Singkat cerita, keduanya lalu memakan buah dari pohon tersebut. Tindakan mereka mengakibatkan keduanya menjadi “telanjang”, kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23) dan mengalami kematian pada akhirnya.
Apakah Allah tidak mengetahui tindakan ular yang menghampiri Hawa? Tentu saja Dia tahu. Apakah Allah tidak melihat percakapan antara Hawa dan ular tersebut? Jawabannya, Allah pasti melihat. Apakah Allah tidak tahu ketika Hawa memakan buah itu? Tentu Allah mengetahuinya, karena Dia maha tahu. BIla demikian, mengapa Allah membiarkan Adam dan Hawa memakan buah itu dan akhirnya jatuh ke dalam dosa? Jawabannya karena Allah tidak menciptakan “robot” yang telah terprogram. Allah telah menciptakan “manusia” yang mempunyai akal budi. Makhluk yang bisa memutuskan untuk mengasihi dan taat kepada-Nya ataupun memutuskan untuk tidak mengasihi dan tidak mentaati-Nya. Dia memberikan “kebebasan” kepada Adam dan Hawa untuk memilih mentaati Dia atau tidak. Pilihan Adam dan Hawa ternyata adalah “tidak taat” dan menyimpang dari rencana kebaikan Tuhan atas mereka.
Jadi, jelaslah bahwa sesungguhnya Allah tidak memberikan kesempatan pada dosa di Taman Eden, tetapi memberikan kesempatan pada manusia untuk “memilih” menjadi taat atau tidak taat kepada-Nya. Dan ketika manusia memilih untuk tidak taat, maka dosa masuk ke dalam dunia. Salah satu arti dari dosa adalah ketidaktaatan atau menyimpang dari perintah Tuhan.
Akar Kata Dosa
Kita perlu mengenal arti dan makna dosa sebagaimana yang dimaksudkan Alkitab, agar dapat melangkah hati-hati di dalam kehidupan ini. Alkitab menggunakan beraneka macam istilah untuk dosa. Hal ini tidak mengherankan karena tema utama Alkitab adalah “pemberontakan manusia terhadap Allah dan respon Allah yang penuh anugerah”. Berikut adalah istilah atau kata-kata asli dalam Alkitab (Perjanjian Lama: Ibrani; Perjanjian Baru: Yunani) yang diterjemahkan dalam Alkitab bahasa Indonesia sebagai “dosa”.
Istilah dalam Perjanjian Lama (Ibrani)
Pertama, “Khattat”. Istilah ini merupakan istilah yang paling sering digunakan dalam Perjanjian Lama. Kata ini muncul ratusan kali dalam Perjanjian Lama (580 kali). Beberapa ayat yang menggunakan kata ini adalah: Kejadian 4:7; 39:9; Keluaran 32:30; Mazmur 51:6 dsb). Contoh dalam Kejadian 4:7, “Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa (khattat) sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.” “Dosa” dalam ayat tersebut berasal dari bahasa Ibrani “Khattat”.
Khattat mengungkapkan tentang pikiran yang tidak mengenai sasaran, membuat kesalahan, luput atau gagal. Dalam pengertian ini, dosa mengacu kepada arti bahwa manusia tidak kena, tidak sampai atau menyimpang dari tujuan dan maksud Allah. Hal ini mengandung makna bahwa dosa itu bukan saja dilakukan melalui perkataan dan perbuatan tetapi juga dalam keadaan dan sikap hati atau pikiran yang berdosa. Manusia menyimpang dari jalan yang benar.
Kedua, “Khet”. Merupakan istilah yang seasal dengan khattat. Istilah ini diantaranya terdapat dalam kitab Mazmur 51:11 yang berbunyi, “Sembunyikanlah wajah-Mu terhadap dosa (khet) ku, hapuskanlah segala kesalahanku!“
Ketiga, “Pesya”. Kata ini mempunyai arti tindakan “memberontak”, “melawan”, “menentang”. Dapat disimpulkan hal ini menyangkut tentang pemberontakan atau pelanggaran terhadap kehendak dan perintah Allah. Istilah ini diantaranya dapat ditemui di dalam kitab Kejadian 31:36; Amsal 28:13; Hosea 8:1. Dalam Kejadian 31:36 tertulis, “Lalu hati Yakub panas dan ia bertengkar dengan Laban. Ia berkata kepada Laban: ‘Apakah kesalahanku(pesya) apakah dosaku, maka engkau memburu aku sehebat itu?”
Keempat, “Syagag”. Kata ini berarti dosa yang “tidak disengaja”, karena tidak hati-hati, karena tidak sadar dan tanpa diketahui. Contoh penggunaannya adalah dalam Imamat 4:2, 13. Contoh penggunaan: “Katakanlah kepada orang Israel: Apabila seseorang tidak dengan sengaja berbuat dosa (syagag) dalam sesuatu hal yang dilarang TUHAN dan ia memang melakukan salah satu dari padanya,” (Imamat 4:2).
Kelima “Asyam”. Kata ini artinya adalah melanggar, berbuat khilaf/kesalahan (Imamat 6:2,5,6; 7:1-7). Contoh penggunaan: “Apabila seseorang berbuat dosa (asyam) dan berubah setia terhadap TUHAN, dan memungkiri terhadap sesamanya barang yang dipercayakan kepadanya, atau barang yang diserahkan kepadanya atau barang yang dirampasnya, atau apabila ia telah melakukan pemerasan atas sesamanya,” (Imamat 6:2).
Keenam, “Awon/Avon”. Kata benda (nomina) Ibrani ‘ÂVON, -âlef – vâv – nun, diterjemahkan oleh LAI dengan “hukuman”, “kedurjanaan”, “kesalahan”, “dosa“. Kata ini berasal dari kata kerja ‘ÂVÂH, yang artinya adalah “membengkokkan” yang lurus, “memutarbalikkan”, “mengubah bentuk”. Kata ÂVON/AWON senantiasa dihubungkan dengan perbuatan jahat (sesat, menyeleweng, murtad, dst) yang dilakukan semasa hidup di dunia. Contoh penggunaan: “”Tetapi keturunan yang keempat akan kembali ke sini, sebab sebelum itu kedurjanaan (awon) orang Amori itu belum genap.” (Kejadian 15:16).
Sebagai kesimpulan, setidaknya ada enam kata dalam Alkitab bahasa Ibrani Perjanjian Lama yang diterjemahkan sebagai “dosa” dalam Alkitab bahasa Indonesia, atau “sin” dalam Alkitab yang berbahasa Inggris.
Istilah dalam Perjanjian Baru (Yunani)
Pertama, “Hamartia”. Kata ini mempunyai makna “tidak mengenai sasaran atau meleset”. Kata ini merupakan kata yang paling umum digunakan di dalam Perjanjian Baru. Kata ini ditulis 174 kali, dan 71 kali diantaranya terdapat di dalam surat-surat rasul Paulus. Kata ini bukan hanya menunjuk pada perbuatan dosa, tetapi juga keadaan hati dan pikiran yang jahat. Contoh penggunaan: “Karena semua orang telah berbuat dosa (hamartia) dan telah kehilangan kemuliaan Allah,” (Roma 3:23). Contoh lainnya: “”Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa (hamartia) mereka.” (Matius 1:21).
Kedua, “Parabasis”. Kata ini berasal dari kata kerja “Parabaino” yang maknanya adalah “melanggar“. Secara konseptual berarti berjalan melewati garis, seperti para murid Yesus dituduh “melanggar” adat istiadat nenek moyang mereka, dan ungkapan “melangkah keluar” dari ajaran Yesus dalam 2 Yohanes 1:9. Jadi, “parabasis” berarti “pelanggaran” atau “menyimpang dari yang seharusnya”.
Dalam Perjanjian Baru, kata ini selalu dipakai dalam hal pelanggaran hukum yang pasti (Roma 4:15; 2 Petrus 2:16). Hukum-hukum Allah menuntut ketaatan manusia, dan jika manusia tidak mentaatinya berarti ia adalah “pelanggar hukum” dan berdosa sehingga murka Allah akan menimpanya (Roma 4:15). Contoh penggunaan: “Lagipula bukan Adam yang tergoda, melainkan perempuan itulah yang tergoda dan jatuh ke dalam dosa (Parabasis).” (1 Timotius 2:14).
Ketiga, “Adikia”. kata ini memiliki makna “kejahatan”, “perbuatan yang tidak benar”. Hal ini merupakan perbuatan lahiriah atau dari luar, yang dinilai merupakan sesuatu perbuatan yang tidak benar sama seperti yang dikatakan oleh hukum-hukum dunia tentang orang bersalah. Di pengadilan ketika semua pemeriksaan sudah selesai, maka hakim akan memvonis, bahwa terdakwa bersalah. Itulah adikia, berarti seseorang telah berbuat salah. Kata ini dipakai di 1 Yohanes 1:9; I Yohanes 5:17. Contoh penggunaan: “Semua kejahatan (adikia) adalah dosa, tetapi ada dosa yang tidak mendatangkan maut.” (1 Yoh 5:17).
Keempat, “Anomia”. Kata ini berasal dari kata sifat “Anomos” yaitu partikel negatif A dan kata benda “Nomos” (hukum). Jadi, anomia adalah “suatu kondisi tanpa hukum karena mengabaikannya/tidak memperdulikan hukum/tidak mentaati hukum”. Contoh penggunaan: “Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hokum Allah (anomia), sebab dosa ialah ‘pelanggaran hukum Allah’ ( anomia).” (1 Yohanes 3:4).
Kelima, “Asebeia”. Kata ini memiliki makna tentang kefasikan dan tidak mengenal Allah (Titus 2:12).
Keenam adalah “Paraptoma.” Kata ini memiliki makna kesalahan, tidak berdiri teguh pada saat harus teguh, tidak sampai kepada yang seharusnya, pelanggaran secara sengaja (Matius 6:14-15, Roma 4:24; Galatia 6:1; Yak 5:16).
Ketujuh adalah “Agnoema”. Artinya tidak berpengetahuan, tidak berpengertian. Contoh penggunaan: “tetapi ke dalam kemah yang kedua hanya Imam Besar saja yang masuk sekali setahun, dan harus dengan darah yang ia persembahkan karena dirinya sendiri dan karena ‘pelanggaran-pelanggaran’, yang dibuat oleh umatnya ‘dengan tidak sadar’ (agnoema).” (Ibrani 9:7).
Asal Mula Dosa
Alkitab menerangkan bahwa dosa berasal dari suatu makhluk yang mempunyai kehendak bebas, yaitu si iblis. Pada mulanya iblis adalah seorang malaikat Allah yang terang dan mulia. Ia telah memberontak dan durhaka kepada Allah. Alkitab menerangkan bahwa dosa iblis berasal dari kesombongannya. Dosa pertama itu berasal dari kehendak iblis. Allah menciptakan malaikat-malaikat sebagai pelayan-Nya dengan kehendak yang bebas, dan itu akan menjadi baik asal digunakan dengan baik dan bertanggung jawab.
Di dalam kitab Yesaya 14:12-17, diterangkan bahwa Bintang Timur/Lucifer (Alkitab versi King James), putera fajar telah jatuh dari langit karena mendurhaka kepada Allah. Perhatikan perkataan “aku hendak” yang diulang lima kali, dan akhirnya “aku hendak menyamai Yang Maha tinggi!” (ay 14). Dan bandingkan dengan II Tesalonika 2:4, dimana antikristus, wakil iblis, akan mengaku dirinya sebagai “allah”. Dalam Kitab Yehezkiel pasal 28 terdapat sedikit keterangan bahwa iblis telah jatuh akibat kesombongannya (ay 17).
Seorang ahli kitab suci, Leander S Keyser, memberi komentar, “Menurut penafsiran Alkitab secara umum, makhluk pertama yang dianugerahi kehendak bebas adalah malaikat-malaikat. Dan dengan demikian, asal mula dosa dalam alam ini disebabkan oleh makhluk yang bebas kehendaknya itu salah memilih. Memang dosa harus berasal dari makhluk yang bebas kehendaknya, sebab kalau tidak, dosa tidak menjadi dosa, hanya suatu kesalahan atau nasib. Rupanya beberapa malaikat telah mulai iri terhadap kuasa Allah dan tidak melawan iri hati itu, lalu mendurhaka kepada Allah. Itulah asal mula jatuhnya beberapa malaikat ke dalam dosa. Dosa mengubah mereka sehingga mereka menjadi setan dan roh-roh jahat. Yang menjadi penghulunya adalah iblis, yang paling mendurhaka kepada Allah.”
Jadi, rupanya dosa telah timbul di dalam Bintang Timur/Lucifer itu ketika kehendaknya menyimpang pada jalan yang salah, yaitu memberontak melawan Allah. Pada waktu beberapa malaikat berdosa, tidak semua malaikat ikut berdosa. Keadaan ini tidak sama dengan Adam yang mendatangkan dosa atas segenap umat manusia.
Hakekat Dosa
Setelah mempelajari akar kata dan asal mula dosa, maka kita sampai pada hakekat dari dosa itu sendiri. Daripada menjadi gambar Allah, manusia ingin menjadi sama dengan Allah. Manusia ingin memutuskan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat. Manusia mencurigai Allah dan tidak percaya kepada hukum Allah. Manusia tidak percaya bahwa tujuan Allah di dalam hukum-Nya adalah semata-mata demi kebahagiaan manusia. Di dalam pemberontakannya itu manusia menyangka bahwa tujuan Allah dengan hukum-Nya ialah kesengsaraan manusia, dan bahwa pelanggaran terhadap Hukum Allah merupakan kebahagiaan manusia.
Studi Alkitab menunjukkan bahwa dosa tidak berasal dari jasmaniah manusia, tetapi berasal dari inti manusia itu sendiri, yaitu “hatinya”, di dalam hubungannya dengan Allah. Tuhan Yesus mengatakan, “dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan … Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang” (Mrk 7:21-23; bnd Kej 6:5; Yer 17:9; Rm 3:10-18; Rm 7:23). Jika hati itu dipenuhi dengan kesombongan, maka kesombongan itu akan meluapkan hawa nafsu. Jika hati tidak jujur lagi di hadapan Allah, maka badan kita pun disalahgunakan untuk perbuatan-perbuatan seperti percabulan, kejahatan, rakus, ketamakan, kecemaran dan sebagainya.
Penyebaran Dosa
Dosa bersifat universal. “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak” (Roma 3:10; bnd Roma 3:1-10,23; Roma 5:12, 19; Mzm 14:1). Hanya Yesus Kristus, yang hidup sebagai orang “tidak berdosa” (Ibrani 4:15). Dosa itu menyeluruh bukan hanya secara geografis, tetapi mempengaruhi setiap manusia secara keseluruhan. Yaitu: Kehendak (Yoh 8:34; Roma 7:14-24; Efesus 2:1-3; 2 Petrus 2:19). Pikiran dan Pengertian (Kejadian 6:5; Efesus 4:17). Perasaan (Rm 1:24-27; I Tim 6:10; 2 Tim 3:4). Ucapan dan Perilaku (Mrk 7:21-22; Gal 5:19-21; Yak 5:3-9).
Keadaan manusia ini menurut John Calvin seorang tokoh reformasi Protestan disebut sebagai “kerusakan total” (total depravity). Hal ini tidak berarti bahwa taraf kejahatan setiap manusia sudah maksimal dan akan membuatnya setaraf dengan setan. Akan tetapi hal ini menjelaskan bahwa tidak ada satu pun dari segi watak, karakter dan kepribadian manusia yang luput dari pengaruh dosa (Rm 7:18-23).
Kenyataan bahwa orang sewaktu-waktu berpikir, berbicara atau bertindak dengan cara yang relatif “baik” (Lukas 11:13; Rm 2:14-15), tidak membantah kerusakan total, karena “baik” ini bukanlah kebajikan sepenuhnya sepanjang hidup yang memungkinkan manusia menghadap Tuhan.
Jenis Dosa
Alkitab mengajarkan bahwa ada dua jenis dosa secara umum. Yaitu, yang pertama disebut sebagai “Dosa Warisan”. Adam dijadikan Tuhan Allah sebagai kepala umat manusia. Sebagai kepala umat manusia ia menerima perintah/perjanjian Tuhan dan sebagai kepala umat manusia ia melanggar perintah/perjanjian itu. Rasul Paulus mengatakan, karena seorang, dosa masuk ke dalam dunia (Roma 5:12,19). Akibatnya semua orang sesudah Adam adalah berdosa di hadapan Allah. Bukan hanya itu saja, kesalahan Adam juga diperhitungkan dan dijatuhkan kepada umat manusia keturunannya (Kej 3; Rm 3:23; Rm 5:18). Keberdosaan Adam, mengakibatkan masuknya dosa ke dalam dunia. Peristiwa tersebut merupakan awal dari kerusakan moral manusia. Secara perlahan, dosa mempengaruhi aspek-aspek hidup manusia, sehingga segala kecenderungan hati manusia adalah jahat sejak kecil (Kejadian 8:21).
Kedua, adalah “dosa perbuatan”. Yaitu dosa yang dilakukan oleh individu manusia yang bersangkutan, baik secara sengaja atau tidak sengaja dan diperbuat melalui hati/pikiran/pandangan mata/perkataan dan perbuatan.
AKIBAT/PENGARUH DOSA
Kejatuhan manusia ke dalam dosa mempunyai implikasi yang luas sekali kepada diri manusia itu sendiri. Ada beberapa aspek yang akan kita lihat berkenaan dengan akibat dari dosa yang dilakukan oleh manusia.
Dalam hubungannya dengan Allah
Dampak yang paling utama berkaitan dengan dosa yang dilakukan oleh manusia adalah dalam hubungannya dengan Allah. Pertama, di mata Allah manusia sudah mati dan akan menuju maut (Roma 3:23; Rm 6:23).
Kedua, manusia tidak layak untuk menghadap Allah. Pengusiran Adam dan Hawa dari Taman Eden ke luar, merupakan ungkapan geografis dari pemisahan spiritual manusia dari Allah, serta ketidaklayakan untuk menghadap Dia dan menikmati keakraban dengan Dia (Kej 3:23). Malaikat dengan pedang yang bernyala-nyala yang menutupi jalan menuju Eden melambangkan kebenaran mengerikan bahwa dalam dosanya, manusia menghadapi pertentangan dan perlawanan dari Allah, yaitu murka Allah (Kej 3:24; Mat 3:7; I Tes 1:10).
Ketiga, manusia tidak sanggup lagi melakukan kehendak Allah. Meskipun Allah memanggil dan memerintahkan manusia dan menawarkan kepada kita untuk jalan kehidupan, kebenaran dan kebebasan, kita tidak sanggup lagi menjawab panggilan Allah itu sepenuhnya. Manusia tidak bebas dan tidak sanggup untuk menyesuaikan diri dengan rencana Allah karena telah menjadi budak dosa (Yohanes 8:34; Roma 7:21-23).
Keempat, manusia tidak benar di mata Allah. Kegagalan untuk mematuhi hukum dan kehendak Allah membuat manusia berada di bawah kutukan hukum, rasa bersalah dan penghukuman yang makin bertambah bagi pelanggar hukum (Roma 5:12; Ulangan 27:26; Galatia 3:10).
Kelima, manusia tidak peka lagi terhadap firman Allah. Allah berbicara baik melalui firman yang tertulis, yaitu Taurat, Alkitab dan juga lisan melalui nabi-nabi-Nya kepada umat manusia. Akan tetapi dosa telah membuat manusia menjadi bebal dan lebih memilih untuk tidak mentaati firman Allah. Akhirnya manusia menjadi tidak mengenal Allah dan tidak mengerti hal-hal mengenai Roh. Hal-hal ini membuat manusia menjadi angkuh dan dalam lingkup keagamaan, keangkuhan ini diungkapkan sebagai pembenaran diri.
Manusia menentukan sendiri norma-norma bagi dirinya dan membenarkan dirinya menurut norma-norma itu. Manusia mencari-cari alasan bagi dosa dan merasa yakin di hadapan Allah karena prestasi-prestasi moral dan religiusnya dengan berbagai macam agama dan kepercayaannya. Ada juga yang kemudian menolak eksistensi Allah secara teori (ateisme). Namun itu semua sesungguhnya hanya untuk bersembunyi dari Allah (seperti Adam dam Hawa di Eden) dan untuk menghindari “keseraman” apabila harus berdiri di hadapan Allah dengan kesalahannya terpampang di depan.
Dalam hubungannya dengan sesamanya
Terputusnya hubungan manusia dengan Allah langsung mempengaruhi hubungan manusia dengan sesamanya. Adam menuduh Hawa dan menyalahkannya sebagai penyebab dosa (Kej 3:12). Kisah kejatuhan manusia segera diikuti dengan peristiwa pembunuhan Habel (Kej 4:1-6). Dosa membuat manusia tidak lagi bisa saling mengasihi dengan tulus, yang ada adalah konflik, perpecahan antar bangsa/suku, prasangka rasial, dan terbentuknya blok-blok internasional yang saling bermusuhan.
Dosa membuat perpecahan, pemisahan dan pertikaian antara manusia dan sesamanya baik di dalam kelonpok masyarakat, agama, sosial, keluarga bahkan gereja. Dosa membuat manusia “mengeksploitasi” sesamanya. Eksploitasi ini dapat dengan jelas kita lihat dalam hubungan antara pria dan wanita. Sejarah mencatat kaum pria telah mendominasi wanita dengan kekerasannya. Wanita digunakan bagi kepentingan egois pria, penolakan pria memberikan persamaan hak dan martabat kepada wanita merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.
Dalam hubungannya dengan dirinya
Manusia kehilangan arah batin dan hidup dalam sejuta konflik dalam dirinya (Lihat Rm 7:23). Pengaruh dosa nyata dalam penipuan diri sendiri. Manusia tidak lagi mampu menilai dirinya dengan benar dan tepat. Dosa telah membuat manusia tidak lagi mampu memandang dirinya sebagai ciptaan Allah yang mulia (Mzm 8:6). Manusia menjadi malu dengan dirinya sendiri, batinnya senantiasa bergejolak mencari arah kehidupan ini. Bahkan terkadang manusia tidak dapat berdamai dengan dirinya sendiri.
Dalam hubungannya dengan alam semesta
Manusia telah kehilangan keharmonisannya dengan alam ini. Manusia yang seharusnya memelihara dan mengusahakan bumi bagi kemuliaan Tuhan (Kej 2:15) malah mengeksploitasinya secara sembarangan sehingga mengakibatkan kerusakan alam ini (hutan menjadi gundul, banjir dsb). Udara, air, dan tanah menjadi kotor oleh polusi yang disebabkan keserakahan manusia.
Dalam hubungannya dengan waktu
Manusia yang jatuh ke dalam dosa, hidup dalam waktu yang dibatasi karena dosa itu. Dosa membuat manusia kehilangan kekekalan (Kej 2:17; 3:19), hari-harinya menjadi terbatas (Mzm 90:9-10). Manusia harus menghadapi kematian sebagai akhir hidupnya.

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Gereja GKJW Jemaat Sidotopo, Surabaya

Asas Perceraian Kristen

Perjamuan Suci dan Hubungannnya dengan Jumat Agung